(Kompas, Opini, 17 Mei 2022). . ”Big data” berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Namun, ”big data” bukan segalanya. Kerap orang dibutakan oleh kebenaran berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang ...
‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ ‌ 

”Big Data” Bukan Segalanya and more...


”Big Data” Bukan Segalanya

(Kompas, Opini, 17 Mei 2022)

 

”Big data” berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Namun, ”big data” bukan segalanya. Kerap orang dibutakan oleh kebenaran berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang komprehensif.

Menurut futurolog tersohor abad ke-20 Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980), siapa yang menguasai informasi akan menguasai dunia.

Jika dirunut dari konsep dasarnya, informasi merupakan data yang diolah menjadi bentuk yang dapat dimaknai oleh penerimanya. Maka, tak heran, Michael Palmer (2006) menyampaikan bahwa data merupakan minyak baru yang bisa diolah dan dimurnikan sehingga dapat digunakan oleh penggunanya.

Namun, Michael Palmer tidak spesifik menyebutkan ”pemurnian” data tersebut juga bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang akhirnya tidak berharga, menyebabkan bencana bagi kemanusiaan, bahkan tidak akan membuat penguasa informasi itu menguasai dunia.

Dalam praktik saat ini, big data yang diolah dengan menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan juga bisa mengarahkan ”wujud” dunia setiap manusia menjadi kustom sesuai dengan preferensinya. Manusia hidup dalam dunianya sendiri, dunia yang didasarkan informasi dan fakta yang hanya ingin diterimanya.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana media sosial ikut berperan dalam hasil pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat pada 2016. Bukan karena efektivitas pemasaran digital oleh media sosial semata, melainkan juga karena kelebihannya dalam hal personalisasi informasi yang sejatinya diciptakan untuk membantu banyak penggunanya.

Salah satu dampaknya, informasi-informasi yang menyesatkan, tetapi disukai dan secara terus-menerus diterima oleh setiap individu selanjutnya diyakini sebagai informasi atau bahkan fakta yang sesuai dengan preferensinya, dengan mengabaikan yang lain.

Akibatnya, setiap individu bisa hidup dalam dunianya sendiri tanpa harus mengalami gangguan sosial terlebih dahulu. Orang-orang tersebut normal, tetapi cara berpikirnya distimulasi secara simultan oleh algoritma komputer, yang awalnya didasarkan pada preferensi dan rekam jejaknya sendiri.

Karena itu, semakin lama terpapar, kepercayaannya terhadap informasi dan fakta tertentu jadi semakin besar, bahkan diyakini sebagai kebenaran. Pihak lain yang menyuarakan berbeda akan dianggap sebagai pembohong atau bahkan musuh yang harus dilawan.

 

Jebakan ”mind stone”

Sebuah analogi yang menarik dapat kita lihat pada mind stone yang diceritakan dalam film-film Marvel. Mind stone dalam Avengers: Age of Ultron (2015) diceritakan memiliki kekuatan yang dahsyat sehingga selain mampu menghidupkan Vision, kekuatannya juga bisa menciptakan ilusi kehidupan di dalam serial Wanda Vision (2021).

Karena kecintaannya pada Vision yang tewas di dalam Avengers: Infinity War (2018), Wanda Maximoff diceritakan membuat dunianya sendiri yang dibangun oleh pikirannya, yang mendapatkan imbas dari kekuatan mind stone.

Kebahagiaan semu yang tercipta karena dirinya tidak menginginkan informasi dan fakta yang berbeda di mana Vision sudah tiada, menjadikan semua orang yang berbeda menjadi lawan, jalan cerita di-reset, atau bahkan ”menghitamkan layar” karena berbagai perbedaan yang tidak diinginkan. Sukacita yang didapatkannya itu dikendalikan oleh proses yang salah.

Ilusi tersebut akhirnya hanya bisa terhenti oleh dirinya sendiri ketika kesadarannya mau memproses informasi yang berbeda di luar dirinya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan klaim orang-orang yang sukses di masa lalu atau merasa akan membawa masa depan yang lebih baik, dengan data yang tidak komprehensif atau bahkan hanya didasarkan pada kata-kata orang-orang di lingkarannya. Halusinasi fakta terbentuk akibat dari pemrosesan data yang salah. Data yang berlimpah saat ini dan kemudahan dalam memperolehnya menjadikan kita masuk dalam jebakan mind stone.

 

Halusinasi fakta

Dari sini, kita bisa melakukan refleksi secara bersama-sama terhadap beberapa kejadian terakhir ini, ketika seorang anak muda menyampaikan kondisi Orde Baru yang berbeda jauh dengan kejadian masa lalu yang dialami oleh sebagian besar masyarakat pada umumnya.

Dengan berbagai informasi dan berita tersajikan dengan kuantitas yang besar dan bisa dengan mudah diperoleh di dunia digital saat ini, muncul pertanyaan, informasi apa saja yang sudah dibacanya?

Begitu juga ketika salah satu pejabat menyampaikan bahwa data yang diperolehnya menunjukkan adanya keinginan yang kuat dari masyarakat untuk memperpanjang masa jabatan pemimpin nasional, yang berbeda dari banyak survei, memunculkan pertanyaan dari mana data yang menjadi acuannya?

Kadang kala kita juga mendapati ada rekan kerja yang menceritakan pencapaiannya pada masa jabatannya meskipun data yang terbaca tidak menunjukkan informasi yang sama dengan yang disajikan. Muncul pertanyaan, dengan dasar data yang sama, dari sisi mana dia melihatnya?

Apakah kita memiliki kesulitan dalam mengolah data yang banyak tersedia di sekitar? Apakah ada kesalahan dalam prosesnya mengubah data menjadi informasi? Ataukah kita hanya mau menelan data yang sesuai preferensi kita sehingga akhirnya menyebabkan halusinasi fakta?

 

Tidak hanya literasi digital

Pemanfaatan berbagai hasil karya digital yang tercipta pada abad ini tidak hanya menuntut literasi digital dalam wujud penguasaan teknis, tetapi juga kesadaran dan pemikiran kritis bahwa kebenaran tidak lagi mutlak. Masih ada kebenaran yang lain di sisi yang berbeda, atau jangan-jangan kepercayaan kita hanyalah kebenaran sebagian (half truth) yang patut dievaluasi.

Sebuah obat mungkin terasa pahit, tetapi dampaknya bisa menyembuhkan. Menyadari bahwa kebenaran tidak hanya yang diinginkan, mungkin akan mengurangi kebahagiaan yang selama ini dirasakan. Namun, tanpa kesadaran tersebut, kita tidak akan pernah menghentikan halusinasi fakta.

Pengolahan data, baik besar maupun kecil, menjadi informasi sangat tergantung dari prosesnya. Ketika prosesnya salah atau menyimpang, informasi yang dihasilkan juga bisa berbeda.

Big data bukanlah segalanya, terutama ketika kita dibutakan oleh kebenaran yang berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang komprehensif. (Ridwan Sanjaya, Guru Besar Bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata)


   


[Buku Baru] Menjadi Self-Publisher Melalui Google Play

Judul Buku: Mudah Menjadi Penerbit Buku Digital Google Play

Link: Google Play Book | Google Books

Tanggal Terbit: 14 Mei 2022

Di masa lalu, menerbitkan buku membutuhkan biaya yang cukup mahal. Hal ini menjadi berbeda ketika Google Play Book menyediakan platform untuk menerbitkan buku secara digital. Hampir tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mencetak buku karena semuanya dalam wujud digital. Apalagi platform untuk membaca buku Google Play Book saat ini makin banyak terpasang di gadget dan mesin pencarian juga membantu mengarahkan ke buku-buku yang diterbitkan melalui Google Play Book. Kelebihan dari buku digital adalah dapat terus ditambahkan kontennya oleh penulisnya sehingga dapat semakin memudahkan pembaca tanpa harus membeli lagi.

Buku ini membahas pembuatan e-book dengan menggunakan format EPUB yang adaptif bagi perangkat digital. Dibandingkan PDF, besaran huruf dan halaman format EPUB lebih nyaman di mata dan tidak mengharuskan kita menggunakan jari untuk memperbesar dan menggeser bagian dari halaman yang ingin dilihat. Selain itu juga bisa ditambahkan video di dalamnya.

Bagi penerbit buku yang sudah eksis namun belum masuk ke buku digital, kanal baru dunia penerbitan buku digital akan menjadi salah satu alternatif masa depan yang tidak terhindarkan. Buku ini akan memudahkan Anda yang berencana untuk masuk ke dunia penerbitan buku digital, baik sebagai perusahaan penerbit maupun pribadi (self-publisher). 




   


”Metaverse" Bukan Obat Dewa

(Kompas, Opini, 19 April 2022)


Metaverse disebut-sebut jadi mantra baru dalam pengembangan teknologi atau bahkan kehidupan di masa depan. Akan tetapi, seperti teknologi lainnya metaverse bukan obat untuk segala masalah dan bebas dari efek negatif.

Setelah Mark Zuckerberg mengumumkan perubahan nama Facebook menjadi Meta beserta rencana pengembangan metaverse dalam sepuluh tahun ke depan, Seoul mendeklarasikan penerapan metaverse untuk kotanya lima tahun ke depan.

Di dalam negeri, langkah ini juga diikuti beberapa BUMN, universitas, dan pemerintah daerah melalui kesepakatan kerja sama dalam beberapa waktu ke depan. Metaverse disebut-sebut jadi mantra baru dalam pengembangan teknologi atau bahkan kehidupan di masa depan.

Sebagai sebuah pengalaman baru, atau bahkan baru sekadar informasi baru, berbagai analisis terkait dampak keberadaan metaverse muncul tiba-tiba secara gegap gempita, tetapi tidak lengkap dan tak komprehensif. Mengharapkan metaverse menjadi solusi positif tanpa adanya risiko dan dampak negatif hanya akan menjauhkan masyarakat dari kenyataan.
Sama seperti kenyataan yang lain, di mana mengharapkan seseorang dengan kepandaian penyembuhan untuk dapat menyembuhkan segala hal, atau sebuah pil yang hebat dapat menyembuhkan segala penyakit, hanya akan menciptakan akhir penuh kekecewaan.

Risiko dan dampak negatif

Pada kenyataannya, berbagai solusi masa lalu yang tidak melibatkan teknologi informasi sekalipun juga tidak dapat menyelesaikan semua masalah atau membebaskan dari risiko dan dampak negatif yang ada. Begitu halnya metaverse atau teknologi yang lain, sejatinya juga bukanlah obat dewa yang dapat memberi jawaban atau segala masalah dan bebas dari efek negatif.

Untuk itu, melihat secara proporsional dan komprehensif perlu dilakukan di zaman pascakebenaran seperti saat ini, agar kita tidak salah melangkah atau kehilangan manfaat dari keberadaan berbagai teknologi informasi yang sedang berkembang. Sepertinya perlu juga untuk melihat berbagai analogi di masa lalu agar cara memandang bisa lebih berimbang.

Seperti halnya analogi dalam melihat teknologi pembelajaran digital yang dituduh tak dapat menjadi solusi bagi banyak siswa di beberapa tempat yang memiliki kesulitan akses internet. Sudut pandang lain adalah melihat hal itu sebagai bentuk keterbatasan pengembangan jaringan internet dan kualitas jaringan. Suatu bentuk kritik yang diharapkan bisa mendorong ketersediaan jaringan internet di beberapa daerah.

Sama halnya dengan keterbatasan dalam penguasaan materi saat pandemi, di mana pembelajaran daring sering dituduh sebagai penyebabnya. Sudut pandang lainnya, bisa saja melihat hal ini sebagai bentuk keterbatasan dalam pengembangan teknik pengajaran dan pembelajaran secara daring.

Selama ini belum banyak dilakukan pengembangan teknik pembelajaran daring dan variasinya karena sebagian besar pengalaman masih terbatas di dalam pertemuan tatap muka. Hal ini dapat mendorong pengembangan pedagogi dan andragogi menjadi lebih luas.

Dua analogi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada obat dewa yang bisa menyelesaikan semua masalah, baik digital maupun nondigital. Namun, pengembangan ke arah yang lebih baik selalu diharapkan untuk dapat menciptakan dunia dan masyarakat yang lebih adaptif.

"Metaverse" tipis-tipis

Kondisi awal pengembangan metaverse saat ini mirip dengan awal pengembangan transaksi jual beli secara digital pada 25 tahun yang lalu. Meskipun sudah tampak menakjubkan dari sisi grafis, masih banyak yang harus dikembangkan agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas di luar kepentingan rapat, diskusi, presentasi, atau menonton pertunjukan langsung di lain tempat secara bersama-sama.

Sampai saat ini, perangkat keras untuk bisa mengakses ke dunia virtual ini juga masih berbiaya besar. Masih dibutuhkan pengembangan, baik dari sisi teknologi maupun kemudahan akses dari sisi perangkat keras yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.

Mekanisme untuk membawa produk nyata ke dalam dunia virtual juga masih belum ada. Wujud virtual juga masih belum serupa dengan wujud nyata juga. Begitu pula, kebebasan untuk membangun dunia sendiri juga belum dapat dirasakan oleh pengguna di luar Amerika Serikat dan Kanada.

Namun, metaverse tipis-tipis ini telah menciptakan harapan akan adanya kemudahan untuk bertemu, menjalin komunikasi, mendapatkan layanan, dan mendapatkan akses secara bersama-masa meskipun terpisah ruang.

Di dalam metaverse diharapkan layanan publik dapat makin mudah diperoleh, pemasaran produk dapat semakin interaktif, atau bahkan pertemuan- pertemuan dapat menjadi lebih berkualitas karena pihak-pihak yang terlibat secara fisik bertemu langsung meskipun di dunia virtual.

Keikutsertaan beberapa institusi di luar ataupun dalam negeri pada awal-awal pengembangan dapat dilihat sebagai pengondisian untuk menyiapkan diri dan kemungkinan mengembangkan layanan menjadi lebih baik ketika teknologi ini sudah sampai pada tahapan matang. Sekaligus menyiapkan diri untuk lebih dini dalam mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diharapkan.

Apalagi kemungkinan metaverse tidak hanya merupakan dimensi virtual yang didominasi oleh Oculus dari Meta saja, tetapi juga secara kompetitif akan dikembangkan oleh NVIDIA, Microsoft, Huawei, MagicLeap, ataupun yang lain.

Perusahaan-perusahaan tersebut akan menjadikan metaverse lebih beragam dan sangat berbeda dengan konsep awalnya. Masih harus menempuh perjalanan jauh dan waktu yang tidak singkat untuk mencapai kondisi yang ideal.

Selama perjalanan tersebut, perlu cara pandang proporsional dan komprehensif agar menjadi lebih bijak. (Ridwan Sanjaya, Guru Besar bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata)

Tautan:
   


Heboh NFT

(Suara Merdeka, Wacana, 24 Januari 2022)


MESKIPUN NFT sudah ada sebelumnya, gagasan Metaverse oleh Mark Zuckerberg menjelang akhir tahun 2021 telah memicu heboh NFT dan beberapa aset kripto lainnya. Hanya saja, tatkala Syahrani mengumumkan untuk menjual NFT yang dimilikinya, maka nama NFT makin dikenal publik secara luas dan semakin heboh ketika seorang anak muda mendapatkan miliaran rupiah dari foto dirinya yang dipasang di NFT marketplace. Sontak semua merasa ketinggalan dan ingin terlibat di dalamnya.

Seperti yang disampaikan oleh Andrew K Przybylski pada tahun 2013, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan peristiwa seringkali terjadi dalam menyikapi berbagai hal baru terutama di dunia digital. FOMO merupakan perasaan yang meyakini setiap peristiwa merupakan kejadian yang tidak boleh dilewatkan. Sehingga proses pengambilan keputusan cenderung tergesa-gesa dan tidak melalui analisis yang matang.

Kejadian ini mengingatkan kita pada fenomena harga tanaman hias yang tiba-tiba menjulang tinggi sehingga banyak orang ingin ikut-ikutan terlibat sampai dengan menjual aset motor dan mobil untuk membelinya. Namun secara tiba-tiba pula harganya turun seharga tanaman hias pada umumnya. Akibatnya, banyak frustasi akibat investasinya tidak kembali. Suatu pelajaran berharga yang mengingatkan kita pada kondisi saat ini.

Apa itu NFT?

Bagi orang awam yang belum mencoba Non-Fungible Token atau disingkat NFT, secara singkat bisa diartikan sebagai sertifikat untuk aset digital yang kita daftarkan. Aset tersebut bisa berupa karya seni digital, perangkat lunak, aset yang didapatkan dalam permainan digital, musik, video, atau bahkan foto-foto yang kita hasilkan, termasuk foto selfie. Karena setiap sertifikat bisa mewakili aset yang berbeda, maka nilai setiap NFT bisa berbeda-beda.

Secara teknologi, NFT menggunakan teknologi blockchain yang membuatnya tetap otentik sejak diciptakan karena tercatat di berbagai tempat dan dapat diverifikasi. Keberadaan teknologi ini membuatnya digolongkan sebagai aset kripto yang sejak lahir menggunakan blockchain dalam pencatatan dan telusurnya. Selain itu, pasar jual-beli NFT menggunakan mata uang kripto untuk pembeliannya.

Apabila ada aset digital yang menarik, dibutuhkan, atau diinginkan, maka nilai NFT bisa semakin tinggi atau bahkan tidak masuk akal bila dilihat dari aset di dalamnya. Namun bukan berarti NFT merupakan penipuan karena jelas bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan untuk menjual karya-karyanya kepada publik. Para desainer, animator, pemusik, pembuat video, dan pemain game merupakan contoh yang diuntungkan dalam bisnis ini. Kondisinya menjadi negatif ketika kita ikut di dalam transaksi-transaksi yang tidak masuk akal, seperti halnya fenomena tanaman hias di atas. Dalam konteks ini, produk yang tiba-tiba menjulang tinggi harganya bisa saja terkait dengan kelompok hobi tertentu, kelompok bisnis spekulatif, atau benar-benar beruntung karena asetnya tiba-tiba dijadikan pilihan untuk ditingkatkan harganya.

Bagaimana Menyikapi?

Pandemi dan percepatan adopsi teknologi telah membuat banyak peluang yang dulunya tidak mungkin menjadi terbuka, terutama dalam hal bisnis. Seluruh dunia menjadi terkoneksi dan memungkinkan kita saling berinteraksi. Transaksi NFT ataupun transaksi aset fisik yang dilakukan secara digital merupakan keniscayaan yang akan kita hadapi pada masa sekarang dan mendatang. Kita perlu mengenal NFT dan aset kripto lainnya agar tidak mudah terkagum-kagum ataupun ketakutan akan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia digital.

Fungsi NFT dalam menjembatani orang-orang kreatif untuk bisa menjual karyanya menjadi kesempatan yang perlu dicoba dan tidak perlu ditakuti. Justru dengan dikenali, dimengerti, sampai dengan menjadi bagian dari hidup sehari-hari akan membuat kita dapat memanfaatkan sisi-sisi positifnya.

Namun tetap sadar dan waspada karena kejadian-kejadian spekulatif dan negatif bukan hanya ada di dunia digital, melainkan justru lebih dahulu ada di dunia fisik. Sehingga jangan sampai terburu-buru dalam mengambil keputusan jika kita memilih untuk menjadi bagian dari bisnis jual-beli aset. NFT. Terutama ketika kita menyadari bahwa aset yang dijual tidak sebanding dengan nilai yang diperjualbelikan.

Selamat memanfaatkan dan memaksimalkan potensi yang ada! Jangan mudah terkagum-kagum ataupun takut yang berlebihan. (Prof Dr Ridwan Sanjaya, guru besar di bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata)


Tautan Lain: Portal Berita Unika Soegijapranata

   


Metaverse - Radio Idola


FeedBlitz Top Slot
powered byad choices

More Recent Articles


You Might Like